Jumat, 31 Agustus 2007

Jangan Ragukan Keberadaan Khilafah Islamiyah

RadarBanjarmasin.ComRabu, 29 Agustus 2007
Jangan Ragukan Keberadaan Khilafah Islamiyah
Bagi sebagian kalangan, gagasan untuk memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah Islamiyah di era modern ini adalah gagasan yang tidak rasional dan utopis, karena kondisi saat ini menunjukkan banyaknya negara yang sudah memiliki sekat-sekat ideologis dan geografis masing-masing, termasuk di Dunia Islam.
Di Indonesia, bahkan sebagian dari kaum muslimin sendiri, tidak ingin khilafah Islam yang akan menerapkan semua hukum-hukum Islam itu tegak. Kenapa? Karena menurut mereka NKRI sudah final tidak bisa diganggu gugat. Ya, terbukti sekat geografis dan nasionalisme telah berhasil memisahkan kaum muslimin di dunia.
Pertanyaannya sekarang. Apakah benar tegaknya khilafah Islam adalah hal yang utopis? Lihatlah kenyataan saat ini yang menunjukkan kalau kita memerlukan khilafah Islam. Sejak keruntuhannya pada tahun 1924 di Turki, hilanglah pelindung kaum muslimin. Sejak saat itu kaum muslimin tertindas, seperti di Palestina, Afganistan, Uzbekistan, Irak dan ditempat-tempat lainnya. Jutaan kaum muslimin dibunuh, wanita-wanitanya diperkosa, anak-anak kecil disiksa, tubuhnya hancur oleh ledakan bom, rumah-rumah mereka rata dengan tanah, mereka terusir dari tanah mereka sendiri.
Demikian pula dengan kondisi kaum muslimin di Indonesia, mereka sulit untuk mendapatkan pendidikan, tidur hanya beralaskan koran di bawah jembatan, bahkan sebagian wanitanya rela menjual dirinya, hanya untuk dapat hidup. Sedangkan sumber daya alam Indonesia dikeruk dan dibawa keluar negeri, bahkan yang menikmati keuntungan paling besar adalah orang asing (luar negeri), rakyatnya tetap tertindas. Indonesia punya tambang emas (Freeport) tapi masyarakat di sekitarnya masih pakai koteka.
Terbukti, sistem kapitalis sekular saat ini, telah gagal untuk mensejahterakan masyarakat. Karena yang mereka pikirkan bukan rakyat, tapi bagaimana agar mereka (kapital) dapat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Di dunia ini hanya ada tiga ideologi/sistem. Sosialisme/komunisme telah lama runtuh, dan sekarang kapitalis/sekuler sudah tinggal menunggu waktu kehancurannya, apa buktinya? Saat ini di Amerika Serikat sebagai gembong kapitalis/sekuler terdapat 300 ribu homoseksual, demikian pula di negara barat lainnya. Kita pasti paham, pasangan yang sejenis tidak akan melahirkan keturunan, tentu saja jumlah mereka pasti tidak akan bertambah, bahkan justru akan berkurang, terbunuh karena penyakit AIDS. Selain itu tingkat kriminalitas di AS sangat tinggi, setiap 2 menit terjadi pembunuhan, bisa kita hitung, ratusan jiwa dalam setahun mati sia-sia di AS. Bayangkan semakin berkuranglah kekuatan mereka sebagai negara gembong kapitalis/sekular.
Genderang berdirinya Daulah Khilafah Islamiyah sudah semakin jelas terdengar, di setiap belahan bumi, semuanya menyerukan untuk kembali kepada Islam. Bahkan di Turki tempat runtuhnya Daulah Khilafah Islam dulu, sekarang rakyatnya merindukan kembali Khilafah Islam. Dan yang lebih hebat lagi di Inggris yang dulunya sebagai negara di balik runtuhnya Khilafah Ustmaniyyah, kini semakin banyak kaum muslimin Inggris menyerukan untuk kembali didirikannya Daulah Khilafah Islamiyah. Allahu Akbar!!!***
(Adibah SHut)

Selasa, 28 Agustus 2007

Merdeka Dengan Syariah

SAAT negeri ini merdeka, menjadi tugas yang berat untuk mempertahankan kemerdekaan itu. Mungkin saja sudah bebas merdeka dari penjajahan negara musuh, namun dilain pihak apakah kita sudah merdeka dalam arti yang sesungguhnya?. Penjajahan selalu berkaitan dengan penguasaan, pengendalian dan pengeksploitasian pihak-pihak yang terjajah; bisa menyangkut urusan-urusan negara dan rakyatnya; bisa juga menyangkut berbagai sumberdaya alamnya; bisa juga berkaitan dengan kontrol atas kebijakan dan penentuan arah negara ke depan.
Yang menjadi pertayaan untuk negeri ini, apakah kita sudah terlepas dari penjajahan dalam arti yang luas? Nampaknya kita hanya lepas dari penjajahan secara fisik, dibalik itu kita malah terjajah oleh negara-negara super power. Saat negeri-negeri berkembang terkena krisis moneter, kendali asing begitu kental. Negeri kita dengan mudahnya bertekuk lutut pada hutang luar negeri IMF dan Bank Dunia. Kebijakan yang ada terkait dengan pihak-pihak asing. Sebut saja privatisasi disejumlah sektor publik, pencabutan subsidi di mana-mana, hutang yang tidak bisa terbayar karena harus terus di tingkatkan. Penjajahan di bidang politik pun terasa kental. Pemerintah terlihat tidak berdaya dengan isu global perang melawan teroris. Adanya dukungan terhadap PBB untuk masalah Iran.
Di sisi pengeksploitasian, mayoritas sumber daya alam negeri ini sudah di kuasai asing. Tentu saja, hasilnya lebih banyak demi kemaslahatan dan kesejahteraan asing. Pada akhirnya, kekayaan negeri ini “yang sebenarnya adalah milik umat” telah dikuasai oleh asing dan dikeruk demi kemakmuran asing. Jika demikian adanya, otoritas apa lagi yang masih dimiliki oleh bangsa ini? Bukankah semuanya telah tergadai pada pihak asing?
Saat suatu negeri terjajah, hanya satu yang layak diupayakan, yakni membebaskan diri dari keterjajahan; merdeka! Sehingga merdeka dalam konteks individu hanya bisa dicapai apabila ia hanya patuh dan taat pada Allah SWT. Sebab, Allah-lah Al khaliq, zat yang telah menciptakan manusia dan alam semesta ini.
Sedangkan dalam konteks masyarakat dan negara, kita bisa mengatakan bahwa suatu masyarakat atau negara yang merdeka adalah masyarakat atau negara yang pemikiran, perasaan dan aturan yang terapkan didalamnya adalah aturan Allah semata. Aturan Allah-lah yang menjadi rujukan sekaligus diterapkan untuk mengatur berbagai aspek kehidupan; politik, ekonomi, sosial, budaya, pidana, pertahanan, maupun keamanan. Sebaliknya jika aturan yang dipakai bukan berasal dari pencipta manusia dan alam semesta ini, yakni berasal dari ideologi buatan manusia, masyarakat atau negara tersebut hakikinya masih saja terjajah. Walhasil, satu-satu cara untuk membbaskan umat dari keterjajahan adalah dengan memperjuangkan kembali terwujudnya kehidupan Islam. Kita bisa merdeka hanya dengan cara menerapkan syariah dan menegakkan khilafah. Namun ini semua hanya menghitung waktu. Kaum muslimin sudah dijanjikan Allah untuk kembali memimpin dunia ini. Wallahualam bi ash-showab.
Nurul Jannah (Sumber: RadarBanjarmasin.Com Selasa, 28 Agustus 2007)

Jumat, 24 Agustus 2007

Syariah dan Khilafah demi Indonesia

Muhammad Ismail Yusanto

Meski dihadang berbagai rintangan, Konferensi Khifalah Internasional (KKI) yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 12 Agustus, yang bertepatan dengan 28 Rajab lalu, berlangsung dengan sangat sukses. Lebih dari 100 ribu peserta dari seluruh pelosok Indonesia dengan beragam latar belakang, bahkan dari sejumlah negara, hadir memenuhi setiap kursi yang tersedia di Gelora Bung Karno, Jakarta. Seluruh rangkaian acara mengalir lancar. Tiga pembicara dari luar negeri: Profesor Dr Hassan Ko Nakata (guru besar Doshisha University, Kyoto/Presiden Asosiasi Muslim Jepang), Dr Salim Atcha (Hizbut Tahrir Inggris), dan Syekh Usman Abu Khalil (Hizbut Tahrir Sudan), menyampaikan materi dalam konferensi, dilengkapi oleh lima pembicara dari dalam negeri, yakni Profesor Dr Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah/Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia), Aa Gym (PP Daarut Tauhid, Bandung), KH Amrullah Ahmad (Ketua Umum Syarikat Islam), dan Tuan Guru Turmudzi (Syuriah Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat) serta KH Tohlon (MUI Sumatera Selatan).
Kekhawatiran sejumlah pihak bahwa konferensi akan berubah menjadi gerakan politik yang akan memicu anarkisme massa tidaklah terbukti, karena acara itu memang tidak dimaksudkan untuk hal itu. Dari awal hingga akhir, semua peserta mengikuti acara dengan tertib. Dalam sambutan selamat datang, saya sebagai juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia menegaskan bahwa KKI dilaksanakan semata sebagai medium untuk meneguhkan komitmen umat Islam terhadap perjuangan penegakan syariah dan khilafah, bukan sebagai ajang deklarasi partai, apalagi deklarasi khilafah. Juga bukan sebagai aksi unjuk kekuatan atau kebesaran.
Khilafah adalah sistem politik Islam untuk menerapkan syariat Islam dan menyatukan umat Islam seluruh dunia. Dalam sejarahnya yang membentang lebih dari 1.400 tahun, khilafah atau sultan atau imam (tiga istilah yang mengandung pengertian yang sama) dengan segala dinamikanya, termasuk dengan kelemahan dan kekurangannya, secara praktis telah berhasil menyatukan umat Islam seluruh dunia dan menerapkan syariah Islam sedemikian sehingga kerahmatan Islam yang dijanjikan benar-benar dapat diwujudkan.
Dr Ali Muhammad al-Shalabi dalam kitab Al-Daulah al-Utsmaniyah, ‘Awamilu al-Nuhud wa Asbabu al-Suqut menggambarkan dengan sangat jelas peran kekhilafahan ini dalam melanjutkan kegemilangan peradaban Islam yang telah dibangun oleh para khulafa sebelumnya. Tak aneh bila Paul Kennedy dalam The Rise and Fall of the Great Powers: Economic Change an Military Conflict from 1500 to 2000, menulis: Empirium Utsmani, dia lebih dari sekadar mesin militer, dia telah menjadi penakluk elite yang telah mampu membentuk satu kesatuan iman, budaya, dan bahasa pada sebuah area yang lebih luas daripada yang dimiliki oleh Empirium Romawi serta untuk jumlah penduduk yang lebih besar. Dalam beberapa abad sebelum tahun 1500, dunia Islam telah jauh melampaui Eropa dalam bidang budaya dan teknologi. Kota-kotanya demikian luas, terpelajar, perairannya sangat bagus. Beberapa kota di antaranya memiliki universitas dan perpustakaan yang lengkap dan memiliki masjid yang indah. Dalam bidang matematika, kastografi, pengobatan, dan aspek-aspek lain dari sains dan industri, kaum muslimin selalu berada di depan.
Maka tepat sekali bila Imam Ghazali dalam kitab Al-Iqtishad fi al-I’tiqad menggambarkan eratnya hubungan antara syariah dan khilafah bagaikan dua sisi dari satu mata uang dengan menyatakan, “Al dinu ussun wa al-shultanu harisun–agama adalah tiang dan kekuasaan adalah penjaga”. “Wa ma la ussa lahu fa mahdumun wa ma la harisa lahu fa dha’i–apa saja yang tidak ada asasnya akan roboh dan apa saja yang tidak ada penjaganya akan hilang”.
Tapi, pada 28 Rajab 86 tahun lalu, sejarah khilafah berakhir. Kemal Pasha, politikus keturunan Yahudi dengan dukungan pemerintah Inggris, secara resmi meng-abolish (menghapuskan) kekhilafahan, yang waktu itu berpusat di Turki. Dengan hancurnya payung dunia Islam itu, umat Islam hidup bagaikan anak ayam kehilangan induk, tak punya rumah pula. Maka tak berlebihan kiranya bila para ulama menyebut hancurnya khilafah sebagai ummul jaraaim (induk dari segala kejahatan), karena memang semenjak itu dunia Islam terus didera berbagai krisis. Umat Islam mengalami kemunduran luar biasa di segala bidang kehidupan, baik di bidang pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, politik maupun sains dan teknologi. Yang tampak kini hanyalah sisa-sisa kejayaan Islam di masa lalu.
Secara fisik, setelah runtuhnya kekhilafahan, wilayah Islam yang dulu terbentang sangat luas, mencakup seluruh Jazirah Arab, Afrika bagian utara, sebagian Eropa, Asia Tengah, Asia Timur, dan Asia Selatan, terpecah-pecah menjadi negara kecil-kecil. Secara intelektual, umat Islam mengalami peracunan Barat. Aneka paham yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama, menyebar bagai virus yang mematikan, yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak umat.Setelah itu, bertubi-tubi umat Islam didera berbagai persoalan. Di pentas dunia, umat Islam di Palestina masih harus terus hidup dalam penderitaan akibat penjajahan Israel. Begitu juga di Irak, Afganistan, dan di tempat lain. Sementara itu, di dalam negeri, kondisi umat Islam Indonesia juga tidak kalah memprihatinkan. Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, lebih dari 100 juta penduduk jatuh ke jurang kemiskinan, puluhan juta menganggur, jutaan anak-anak harus putus sekolah, dan jutaan lainnya mengalami malnutrisi. Adapun kriminalitas meningkat di mana-mana. Ditambah dengan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat, membuat hidup terasa sangat menyesakkan. Tentu, bagian terbesar dari mereka yang saat ini tengah menderita adalah juga umat Islam.
Kenyataan di atas makin menegaskan bahwa umat Islam memang amat mundur. Keadaannya kurang-lebih sama dengan sinyalemen Rasulullah 14 abad yang lalu dalam hadis riwayat Imam Ahmad: umat yang jumlahnya lebih dari 1,5 miliar jiwa dicabik-cabik bagai makanan oleh orang-orang rakus tanpa rasa takut dari berbagai arah.Reaksi pro dan kontra memang mengiringi acara konferensi ini, baik sebelum maupun sesudahnya. Yang pro mengatakan bahwa khilafah, di samping memang adalah ajaran Islam dan pernah terwujud dalam kurun waktu yang sangat panjang di masa lalu, diperlukan untuk menerapkan syariah Islam dan menyatukan umat Islam sedunia yang kini terpecah belah. Lagi pula khilafah bukanlah barang baru untuk Indonesia. Sejarah dakwah Islam di Indonesia adalah sejarah peran khilafah dalam menyebarkan Islam di negeri ini, baik melalui para sultan maupun para pendakwah. Sebagian walisongo adalah utusan langsung para khalifah. Sementara itu, yang kontra mengatakan bahwa ide khilafah bertentangan dengan pluralitas dan tidak sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan.Dakwah HTI, termasuk penyelenggaraan KKI, dilakukan demi Indonesia di masa mendatang yang lebih baik. Dalam pandangan HTI, problem rakyat, bangsa dan negara ini khususnya, serta umat Islam di seluruh dunia pada umumnya, dipicu oleh sistem sekularistik dan terpecahbelahnya umat Islam. Indonesia diyakini akan bisa meraih kemuliaan bila kepadanya diterapkan syariah sebagai ganti dari sekularisme yang telah terbukti gagal membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, dan umat bersatu kembali di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Inilah dua substansi penting dari ide khilafah, yakni untuk tegaknya syariah dan terwujudnya ukhuwah. Bila hancurnya khilafah disebut sebagai ummul jaraaim, diyakini bahwa tegaknya kembali syariah dan khilafah akan menjadi pangkal segala kebaikan, kerahmatan, dan kemaslahatan, termasuk bagi Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, ide khilafah sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan baru (neokolonialisme), yang nyata-nyata sekarang tengah mencengkeram negeri ini, yang dilakukan oleh negara besar. Hanya melalui kekuatan global, penjajahan global bisa dihadapi secara sepadan. Karena itu pula, konferensi ini bisa dibaca sebagai bentuk kepedulian yang amat nyata dari HTI dalam berusaha mewujudkan kemerdekaan hakiki negeri ini atas berbagai bentuk penjajahan yang ada.Mengenai nilai-nilai kebangsaan, bila yang dimaksud adalah komitmen terhadap keutuhan wilayah, HTI berulang menegaskan penentangannya terhadap gerakan separatisme dan segala upaya yang akan memecah belah wilayah Indonesia. Bila nilai kebangsaan artinya adalah pembelaan terhadap kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia, HTI berulang juga dengan lantang menentang sejumlah kebijakan yang jelas-jelas bakal merugikan rakyat Indonesia, seperti protes terhadap pengelolaan sumber daya alam yang lebih banyak dilakukan oleh perusahaan asing atau penolakan terhadap sejumlah undang-undang, seperti UU Migas, UU Sumber Daya Air, dan UU Penanaman Modal, yang sarat dengan kepentingan pemilik modal. Karena itu, salah besar bila menuduh bahwa HTI dengan KKI tidak peduli pada nilai-nilai kebangsaan. Tapi, bila nilai kebangsaan artinya adalah kesetiaan terhadap sekularisme, dengan tegas HTI menolak karena justru sekularisme inilah yang telah terbukti membuat Indonesia terpuruk seperti sekarang ini. Maka benar sekali fatwa MUI pada 2005 yang mengharamkan sekularisme.

(Sumber: KORAN TEMPO, 22 Agustus 2007)

Rabu, 22 Agustus 2007

Konferensi Khilafah dalam Tajuk Rencana Harian Pikiran Rakyat

Semoga Konferensi Khilafah Internasional menjadi momentum penting bersatunya kaum Muslimin di dunia.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggelar acara Konferensi Khilafah Internasional di Istora Senayan, Minggu (12/8). Ratusan ribu umat Islam, tamu undangan, dan para pembicara dari dalam maupun luar negeri menghadiri acara tersebut.
Suatu hal yang menjadi catatan menarik antara lain tampilnya pembicara dan bahkan hadirin yang berlatar belakang berbeda ormas, status pendidikan, sosial ekonomi, mazhab, serta budaya. Mereka tiba-tiba menjadi bersatu mengusung tema pentingnya menegakkan khilafah islamiah.Kalaupun mesti mengungkap adanya perbedaan, pers mencatat ada satu pembicara yang semula direncanakan hadir namun batal yakni K.H. Hasyim Muzadi dan Ustaz Abu Bakar Ba'asyir. Ketua PB Nahdlatul Ulama (NU) ini sengaja membatalkan kehadirannya dengan alasan yang tampaknya prinsipil. Adapun Ustaz Abu Bakar Ba'asyir--sesepuh Majelis Mujahidin Indonesia--tidak hadir karena kesadaran sendiri setelah Mabes Polri melarang bicara di forum tersebut.Pertanyaannya ialah acara "milik" siapakah Konferensi Khilafah Internasional? Jawabannya secara implisit sebenarnya sudah bisa diterka yakni "milik" umat Islam. Ini didasarkan pada fakta kehadiran mayoritas kaum Muslimin, baik yang mengklaim atas nama diri sendiri, lembaga dakwah, atau ormas Islam.Terlepas dari hal itu, yang jelas Konferensi Khilafah Internasional berlangsung lancar dan setidaknya pers mencatat adanya kesuksesan panitia merumuskan sejumlah statement penting bagi kelanjutan upaya riil umat Islam--dunia--mewujudkan khilafah islamiah.Lebih dari itu, pers mencatat ihwal mulai adanya titik temu antara pimpinan umat Islam dari berbagai negara dalam merespons tema yang mengemuka yakni khilafah islamiah.Dalam diskursus ini, kita mencatat pula adanya benang merah betapa topik khilafah islamiah kini semakin mencair di tengah umat Islam, dan bahkan masyarakat internasional. Ini suatu fenomena menarik, karena terjadi di saat kian gencarnya Amerika Serikat (AS) dan sekutunya mengampanyekan berbagai isu yang merugikan kaum Muslimin, seperti melalui isu terorismenya.Seandainya "pertemuan" di Istora Senayan tersebut, ditindaklanjuti oleh berbagai potensi umat Islam, tampaknya jauh akan lebih maslahat. Karena, berbagai klausul statement dan komitmen yang berhasil dibangun di forum tersebut cenderung memberikan koridor pergerakan wacana maupun amal nyata umat Islam dalam menyikapi problem kompleks seperti kemiskinan, kebodohan, keterbalakangan, kezaliman, ketidakadilan, dan sejenisnya. Semoga Konferensi Khilafah Internasional menjadi momentum penting bersatunya kaum Muslimin di dunia, serta semoga pula umat Islam di berbagai negara bisa merumuskan kembali eksistensinya dan berkiprah nyata mewujudkan izzul Islam wal Muslimin.***
(Sumber: Tajuk Rencana PR]Sumber: Tajuk Rencana PR, 13 Agustus 2007)

Jumat, 17 Agustus 2007

Khilafah Sistem Pemerintahan Bersifat ‘Ketuhanan’ atau ‘Keduniaan’ ?

Pro Kontra Ide Penegakan Khilafah


Perjuangan Tegaknya Khilafah Islamiyah Bukan Sekadar Wacana

Menurut Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto, dari hari ke hari, perjuangan menegakkan syariat Islam melalui sistem khilafah terus menunjukkan kemajuan positif. Salah satu buktinya adalah suksesnya penyelenggaraan Konferensi Khilafah Internasional 2007 kemarin (13/8). simpatisan yang hadir di Gelora Bung Karno sekitar 80 ribu orang. (Sumber:
www.indopos.com ( Selasa 14 Agustus 2007)
Prof Dr Nur Syam MSi, guru besar Sosiologi IAIN Sunan Ampel menuliskan bahwa Konferensi yang juga dihadiri Din Syamsuddin dan Aa Gym tersebut seakan memberikan warning kepada masyarakat internasional dan secara khusus masyarakat Indonesia bahwa gerakan untuk mengimplementasikan syariah Islam secara kaffah dan berdiri tegaknya khilafah Islamiyah bukan sekadar wacana, tetapi menjadi bagian penting dari sejarah pergerakan keagamaan di Indonesia. Forum itu juga sekaligus menahbiskan bahwa gerakan keagamaan yang bercorak fundamental tersebut telah menjadi realitas empiris yang harus diperhitungkan dalam percaturan religio-politik masyarakat bangsa Indonesia. (Sumber: www.indopos.com, 16 Agustus 2007)
Pengakuan akan eksistensi pengusung ide khilafah tersebut tentu mengkhawatirkan bagi para penentang ide tersebut. Sehingga ke depan pro kontra ide kehilafahan bisa jadi akan semakin ramai, baik opini dari pengusung ide khilafah maupun penyebaran keraguan oleh penentangnya.


Keraguan terhadap Konsep Khilafah ?

Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto menyatakan, keraguan sejumlah tokoh Islam terhadap konsep khilafah islamiah sangat bisa dimengerti. Sebab, kenyataan akan konsep khilafah telah terkubur sangat lama. "Kalau mereka lantas ragu dan sangat sulit membayangkan, hal tersebut cukup wajar," ujarnya. Ismail mengibaratkan keraguan itu seperti konsep Uni Eropa saat kali pertama digulirkan. Namun, seiring waktu, Uni Eropa bisa terwujud dan keberadaannya sangat diperhitungkan hingga saat ini (Sumber
www.indopos.com, 14 Agustus 2007).
Prof Dr Nur Syam MSi, guru besar Sosiologi IAIN Sunan Ampel menuliskan bahwa persoalan khilafah sebenarnya bukan berada di langit suci, tetapi telah menjadi bagian dari darah dan daging. Sebagai realitas empiris, maka khilafah sesungguhnya adalah persoalan profan, sebagaimana yang terjadi dalam rentang sejarah kemanusiaan. Khilafah bukan sesuatu yang sakral. Khilafah hadir dalam dunia kemanusiaan tentu terkait dengan masalah-masalah yang terjadi di kala itu. Ada dunia kontekstual yang menjadi dasar pijakannya.
Berdasar pembacaan kritis terhadap model kekhilafahan yang terjadi di dunia Islam, ternyata model khilafah juga sarat dengan kepentingan dan penguasaan.Nur Syam mengutip dari beberapa pendapat miring tentang khilafah :
- Berdasar tulisan Rasul Ja’fariyan yang membaca "Sejarah Khilafah 11-35 H", ternyata model khilafah juga bukan sesuatu yang sangat ideal dan menampakkan substansi keislaman yang nyata. Ataukah ia adalah alat kekuasaan sekelompok orang yang secara lancang memanipulasi jargon agama? Ungkapan yang menggambarkan betapa saratnya kekhilafahan dengan perpolitikan, kepentingan, dan penguasaan yang sangat profan.
- Muhammad Said al-Asmawy yang menyatakan bahwa pertarungan yang terjadi dalam sejarah panjang umat Islam hanyalah menjadikan Islam sebagai kedok. Sedangkan isi atau tujuan sesungguhnya tak lain adalah kekuasaan (M. Hasibullah Satrawi, 2006).
Jika dibaca secara kritis, kekhilafahan pada masa khulafaur rasyidin pun sudah memiliki nuansa kekuasaan politik yang sangat kental. Belum lagi peralihan-peralihan kekuasaan pada masa Abbasiyah dan Muawiyah. Kekhalifahan tersebut ternyata tidak ada bedanya dengan perubahan kekuasaan politik di tempat lain.
Sering dalam perubahan kekuasaan politik terkait dengan air mata. Jika demikian halnya, prototipe sistem pemerintahan ideal yang sesuai dengan ajaran mendasar Islam lalu sulit ditemui dalam realita empiris pascamasa kenabian Muhammad SAW. Dengan demikian, pertanyaan ontologis adakah sistem kekhilafahan yang ideal dan menjadi realitas empiris pasca-Nabi Muhammad SAW dan khulafaur rasyidin ternyata agak sulit ditemukan? Makanya, gagasan tentang khilafah sebagai solusi atas persoalan negara-bangsa, khususnya Indonesia, adalah pikiran tekstual, bukan kontekstual. (Sumber: Suara Merdeka, 16 Agustus 2007)
Tak pelak ormas Islam Baitul Muslimin Indonesia pun menyatakan tidak mendukung ide Khilafah Islamiyah yang dilontarkan Hizbut Tahrir Indonesia Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia, yang juga Ketua Bidang Agama dan Kerohanian DPP PDI Perjuangan, Prof. DR. K.H. Hamka Haq, mengatakan “Hal itu adalah masa lalu, sangat utopian, tidak realistis dalam konteks historis maupun kondisi kekinian. Bahkan Nabi Muhammad SAW tidak membawa konsep Khilafah, melainkan imammah. Kegagalan khilafah dalam konteks historis, sudah dibuktikan lewat dinasti kekhalifahan Muawwiyah yang legalitasnya lebih banyak ditentukan oleh keberanian menghabisi lawan politiknya,” (Sumber: www.SuaraMerdeka.com, 16 Agustus 2007)


Khilafah Sistem Pemerintahan Keduniaan - Membumi

Prof. Dr. Hassan Ko Nakata (Sekolah Teologi, Universitas Doshisha Jepang) dalam makalah Konferensi Khilafah Internasional 2007 menjelaskan bahwa Khilafah adalah suatu system pemerintahan “bersifat keduniaan” yang aturannya berdasarkan pada hukum, bukan teokrasi atau “pemerintahan bersifat ketuhanan”. Ini tentu berbeda dengan pemahaman kaum syiah tentang imamah atau pemerintahan imam ma’sum yang bersifat teokratik.
Hukum Islam adalah suatu system peraturan, sama dengan system hukum Inggris. Maka, baik system hokum Islam maupun system hokum Inggris bukanlah system yang misterius (mistis), melainkan system yang sangat rasional. Dalam pengertian, bahwa dalam menjalankan keduanya tidak ada hubungannya dengan petunjuk langsung dari Tuhan. Maka, yang diperlukan adalah untuk memahaminya secara logis berdasarkan proses penalaran hokum (legal reasoning) secara professional, bukan hanya berdasarkan keimanan semata.
Dalam konteks sumber hukum, fakta bahwa sumber hukum Islam adalah wahyu Allah itu tidak serta merta menjadikan system politik dan hukum Islam menjadi system pemerintahan berdasarkan wahyu atau ilham (petunjuk langsung dari Tuhan).
Sistem hukum Islam sendiri bersifat dualistic, terdiri atas hukum public –setiap orang harus mematuhi- dan hukum komunal –memberikan otonomi kepada masyaraat yang berbasis agama untuk mengatur cara hidupnya berdasarkan pada huum yang berlaku di dalam agamanya. Ini menunjukkan, bahwa hukum Islam juga mengakomodasi pluralitas atau keragaman masyarakat.
Lebih lanjut, Khilafah adalah system pemerintahan keduniaan membumi yang menjamin perlindungan seluruh masyarakat berdasarkan hukum public Islam dan memberikan kebebasan kepada komunitas berbasis agama di bidang keagamaan. Bukan hanya dalam ritus keagamaan, namun juga dalam hal-hal yang menyangkut hukum keluarga, cara berpaaiandan sebagainya.
Fakta menunjukkan Khilafah merupakan konsep yang membumi karena konsep ini dipengaruhi oleh karakter dari misi keislaman itu sendiri. Misi Islam ini berlipat ganda dalam (1) menyebarkan system pemerintahan Islam atau Khilafah, yang merupakan kewajiban, dan (2) menyebarkan agama Islam, yang merupakan pilihan selanjutnya atau opsional. Ini karena misi keislaman dibangun dengan tegas, ketika kepatuhan terhadap hukum public Islam yang disertai dengan pembayaran pajak jizyah ditolak, bukan ketika merea menolak agama Islam itu sendiri.
Sebagaimana tertulis dalam al-Qur’an, Allah berfirman :

"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah[638] dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk." (QS At Taubah 9: 29).

Sebagai tambahan, Al-Mughirah menuturkan, bahwa dia pernah berkata kepada pasukan Persia dalam peperangan Nahawand, “Nabi kami Muhammad Saw memerintahkan kami untuk memerangimu sampai engkau beriman pada Allah atau membayar pajak (jizyah)”. Adalah sangat jelas bahwa misi dari agama Islam adalah untuk menegakkan system pemerintahan Islam, bukan memaksakan agama Islam ke seluruh dunia.
Akibat dari karakter yang ada dalam misi keislaman ini, tanggung jawab politik untuk memelihara ketertiban, keamanan dan perdamaian dalam system Khilafah tidak dibebankan kepada semua orang –sebagaimana yang diagas dalam kerangka berfikir keliru tentang perwakilan bangsa-bangsa dalam hal ini, sekedar contoh sebut saja system pemerintahan demokratis- melainkan berada di bawah pengelolaan umat Islam di bawah pimpinan puncaknya, Khalifah, menurut kemampuan mereka masing-masing.
Dengan kata lain, system Khilafah, tidak mewajibkan kalangan non muslim untuk memberikan komitmen politik kepada Islam –karena mereka tidak mengimaninya- dan mereka hanya diwajibkan mematuhi aturan hukum public Islam dengan membayar jizyah sebagai warga negara “pasif”. Berbeda dengan kaum Muslim, mereka diwajibkan untuk berpartisipasi dalam perpolitikan Khilafah sebagai warga negara “aktif” berdasarkan kemampuan mereka karena keimanan mereka kepada Islam.
Prof. Dr. Ko Nakata (yang juga Presiden Asosiasi Muslim Jepang) menyimpulkan pendefinisan Khilafah sebagai “system politik Islam yang tumbuh bersama dalam keragaman masyarakat berbasis agama –berikut dengan masing-masing otonominya di bidang keagamaan- yang direalisasika di bawah pengelolaan kaum muslim melalui kepemimpinan Khalifah yang bertanggung jawab untuk menjalankan hukum public Islam yang bertujuan untuk menjamin ketertiban, keamanan dan kedamaian dalam masyarakat majemuk yang beragam.


Khatimah

- Khilafah sebagai suatu system pemerintahan yang bersifat keduniaan yang harus berjalan berdasarkan hukum syara’; bahkan Khalifah yang bertanggungjawab memimpin pelaksanaan aturan hukum Islam.
- Akan tetapi meskipun sumber hukum Islam adalah wahyu, khilafah bukanlah system theokrasi ataupun imamah (imam ma’sum). Hukum yang diterapkan tidak mistis (misterius) tetapi suatu system hukum yang rasional, dimana dalam memahami hukum syara’ berdasarkan proses penalaran hukum (legal reasoning).
- Kekhawatiran terhadap terjadinya penyelewengan bisa dipahami, mengingat hal tersebut juga pernah terjadi pada sejarah kekhilafahan, sebagaimana terjadi pula pada system pemerintahan lainnya (monarki ataupun demokrasi) sampai saat ini. Akan tetapi ketika bicara masalah system pemerintahan, pada dasarnya kita sedang membahas tentang benar atau tidak benar dari suatu system menurut syara’. Khilafah adalah system pemerintahan yang telah dicontohkan oleh Nabi Saw. (Sunnah), dilanjutkan oleh khulafaurrasyidin (ijma’ sahabat), dan dijanjikan tegaknya kembali sebagaimana sabda Rasululullah Saw:
“. . . tsumma takuunu khilafatan ‘alaa minhaajin nubuwwah”
“. . . Selanjutnya akan dating suatau kekhilafahan yang berjalan di atas manhaj kenabian” (HR. Ahmad)

Sabtu, 04 Agustus 2007

Menghentikan Tradisi Inflasi ?!

*) Catatan Inflasi Juli

Kekhawatiran akan terjadinya krisis ekonomi jilid II boleh jadi bukan hal yang mengada-ada. Pengalaman krisis ekonomi tahun 1997 yang menyebabkan keterpurukan ekonomi negeri ini masih menyisakan banyak permasalahan. Padahal terjadinya krisis ekonomi atau minimal inflasi periodic akan selalu terjadi pada system perekonomian yang berlaku saat ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan laju inflasi tahun kalender (Januari-Juli 2007) 2,81 persen, dan laju inflasi tahunan (Juli 2007 terhadap Juli 2006) 6,06 persen. Inflasi Juli mencapai 0,72 persen atau tertinggi sepanjang 2007 (Republika, 2 Agustus 200&). Kontribusi terbesar inflasi adalah kenaikan harga bahan makanan, terutama minyak goreng, ayam ras, dan telur.
Harga bahan makanan kalau kita perhatikan akan selalu naik dari waktu ke waktu, meskipun sebetulnya yang terjadi adalah nilai dari uang yang selalu menurun atau inflasi periodic.
Tradisi inflasi periodic mata uang itu sendiri adalah sesuatu yang baru terjadi beberapa puluh tahun yang lalu, yaitu ketika mata uang tidak lagi disandarkan langsung kepada emas & perak (bimetal) tahun 1944 dan pada akhirnya hanya disandarkan pada dollar semata-mata tiada ada kaitannya dengan emas pada tahun 1971.
Ketika nilai masih disandarkan pada emas dan perak inflasi tidak dikenal. Sejak masa awal Islam hingga hari ini, nilai mata uang Islam dwilogam itu secara mengejutkan tetap stabil dalam hubungannya dengan barang-barang konsumtif. Seekor ayam pada zaman Nabi Muhammad SAW harganya satu dirham. Hari ini, 1400 tahun kemudian, harganya kurang lebih masih satu dirham. Dengan demikian, dalam waktu satu setengah abad dinar dan dirham tidak mengalami inflasi (Zaim Zaidi, 2002).
Itulah dua konsep yang berbeda. Konsep pertama adalah yang berlaku saat ini, include dengan tradisi inflasi, yang mengakibatkan harga barang dan jasa membubung selalu dan berulang. Sedangkan konsep kedua adalah apa yang telah ditetapkan oleh Nabi Saw yang tidak mengenal inflasi yang mentradisi dan . . . berpahala.