Jumat, 17 Agustus 2007

Khilafah Sistem Pemerintahan Bersifat ‘Ketuhanan’ atau ‘Keduniaan’ ?

Pro Kontra Ide Penegakan Khilafah


Perjuangan Tegaknya Khilafah Islamiyah Bukan Sekadar Wacana

Menurut Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto, dari hari ke hari, perjuangan menegakkan syariat Islam melalui sistem khilafah terus menunjukkan kemajuan positif. Salah satu buktinya adalah suksesnya penyelenggaraan Konferensi Khilafah Internasional 2007 kemarin (13/8). simpatisan yang hadir di Gelora Bung Karno sekitar 80 ribu orang. (Sumber:
www.indopos.com ( Selasa 14 Agustus 2007)
Prof Dr Nur Syam MSi, guru besar Sosiologi IAIN Sunan Ampel menuliskan bahwa Konferensi yang juga dihadiri Din Syamsuddin dan Aa Gym tersebut seakan memberikan warning kepada masyarakat internasional dan secara khusus masyarakat Indonesia bahwa gerakan untuk mengimplementasikan syariah Islam secara kaffah dan berdiri tegaknya khilafah Islamiyah bukan sekadar wacana, tetapi menjadi bagian penting dari sejarah pergerakan keagamaan di Indonesia. Forum itu juga sekaligus menahbiskan bahwa gerakan keagamaan yang bercorak fundamental tersebut telah menjadi realitas empiris yang harus diperhitungkan dalam percaturan religio-politik masyarakat bangsa Indonesia. (Sumber: www.indopos.com, 16 Agustus 2007)
Pengakuan akan eksistensi pengusung ide khilafah tersebut tentu mengkhawatirkan bagi para penentang ide tersebut. Sehingga ke depan pro kontra ide kehilafahan bisa jadi akan semakin ramai, baik opini dari pengusung ide khilafah maupun penyebaran keraguan oleh penentangnya.


Keraguan terhadap Konsep Khilafah ?

Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto menyatakan, keraguan sejumlah tokoh Islam terhadap konsep khilafah islamiah sangat bisa dimengerti. Sebab, kenyataan akan konsep khilafah telah terkubur sangat lama. "Kalau mereka lantas ragu dan sangat sulit membayangkan, hal tersebut cukup wajar," ujarnya. Ismail mengibaratkan keraguan itu seperti konsep Uni Eropa saat kali pertama digulirkan. Namun, seiring waktu, Uni Eropa bisa terwujud dan keberadaannya sangat diperhitungkan hingga saat ini (Sumber
www.indopos.com, 14 Agustus 2007).
Prof Dr Nur Syam MSi, guru besar Sosiologi IAIN Sunan Ampel menuliskan bahwa persoalan khilafah sebenarnya bukan berada di langit suci, tetapi telah menjadi bagian dari darah dan daging. Sebagai realitas empiris, maka khilafah sesungguhnya adalah persoalan profan, sebagaimana yang terjadi dalam rentang sejarah kemanusiaan. Khilafah bukan sesuatu yang sakral. Khilafah hadir dalam dunia kemanusiaan tentu terkait dengan masalah-masalah yang terjadi di kala itu. Ada dunia kontekstual yang menjadi dasar pijakannya.
Berdasar pembacaan kritis terhadap model kekhilafahan yang terjadi di dunia Islam, ternyata model khilafah juga sarat dengan kepentingan dan penguasaan.Nur Syam mengutip dari beberapa pendapat miring tentang khilafah :
- Berdasar tulisan Rasul Ja’fariyan yang membaca "Sejarah Khilafah 11-35 H", ternyata model khilafah juga bukan sesuatu yang sangat ideal dan menampakkan substansi keislaman yang nyata. Ataukah ia adalah alat kekuasaan sekelompok orang yang secara lancang memanipulasi jargon agama? Ungkapan yang menggambarkan betapa saratnya kekhilafahan dengan perpolitikan, kepentingan, dan penguasaan yang sangat profan.
- Muhammad Said al-Asmawy yang menyatakan bahwa pertarungan yang terjadi dalam sejarah panjang umat Islam hanyalah menjadikan Islam sebagai kedok. Sedangkan isi atau tujuan sesungguhnya tak lain adalah kekuasaan (M. Hasibullah Satrawi, 2006).
Jika dibaca secara kritis, kekhilafahan pada masa khulafaur rasyidin pun sudah memiliki nuansa kekuasaan politik yang sangat kental. Belum lagi peralihan-peralihan kekuasaan pada masa Abbasiyah dan Muawiyah. Kekhalifahan tersebut ternyata tidak ada bedanya dengan perubahan kekuasaan politik di tempat lain.
Sering dalam perubahan kekuasaan politik terkait dengan air mata. Jika demikian halnya, prototipe sistem pemerintahan ideal yang sesuai dengan ajaran mendasar Islam lalu sulit ditemui dalam realita empiris pascamasa kenabian Muhammad SAW. Dengan demikian, pertanyaan ontologis adakah sistem kekhilafahan yang ideal dan menjadi realitas empiris pasca-Nabi Muhammad SAW dan khulafaur rasyidin ternyata agak sulit ditemukan? Makanya, gagasan tentang khilafah sebagai solusi atas persoalan negara-bangsa, khususnya Indonesia, adalah pikiran tekstual, bukan kontekstual. (Sumber: Suara Merdeka, 16 Agustus 2007)
Tak pelak ormas Islam Baitul Muslimin Indonesia pun menyatakan tidak mendukung ide Khilafah Islamiyah yang dilontarkan Hizbut Tahrir Indonesia Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia, yang juga Ketua Bidang Agama dan Kerohanian DPP PDI Perjuangan, Prof. DR. K.H. Hamka Haq, mengatakan “Hal itu adalah masa lalu, sangat utopian, tidak realistis dalam konteks historis maupun kondisi kekinian. Bahkan Nabi Muhammad SAW tidak membawa konsep Khilafah, melainkan imammah. Kegagalan khilafah dalam konteks historis, sudah dibuktikan lewat dinasti kekhalifahan Muawwiyah yang legalitasnya lebih banyak ditentukan oleh keberanian menghabisi lawan politiknya,” (Sumber: www.SuaraMerdeka.com, 16 Agustus 2007)


Khilafah Sistem Pemerintahan Keduniaan - Membumi

Prof. Dr. Hassan Ko Nakata (Sekolah Teologi, Universitas Doshisha Jepang) dalam makalah Konferensi Khilafah Internasional 2007 menjelaskan bahwa Khilafah adalah suatu system pemerintahan “bersifat keduniaan” yang aturannya berdasarkan pada hukum, bukan teokrasi atau “pemerintahan bersifat ketuhanan”. Ini tentu berbeda dengan pemahaman kaum syiah tentang imamah atau pemerintahan imam ma’sum yang bersifat teokratik.
Hukum Islam adalah suatu system peraturan, sama dengan system hukum Inggris. Maka, baik system hokum Islam maupun system hokum Inggris bukanlah system yang misterius (mistis), melainkan system yang sangat rasional. Dalam pengertian, bahwa dalam menjalankan keduanya tidak ada hubungannya dengan petunjuk langsung dari Tuhan. Maka, yang diperlukan adalah untuk memahaminya secara logis berdasarkan proses penalaran hokum (legal reasoning) secara professional, bukan hanya berdasarkan keimanan semata.
Dalam konteks sumber hukum, fakta bahwa sumber hukum Islam adalah wahyu Allah itu tidak serta merta menjadikan system politik dan hukum Islam menjadi system pemerintahan berdasarkan wahyu atau ilham (petunjuk langsung dari Tuhan).
Sistem hukum Islam sendiri bersifat dualistic, terdiri atas hukum public –setiap orang harus mematuhi- dan hukum komunal –memberikan otonomi kepada masyaraat yang berbasis agama untuk mengatur cara hidupnya berdasarkan pada huum yang berlaku di dalam agamanya. Ini menunjukkan, bahwa hukum Islam juga mengakomodasi pluralitas atau keragaman masyarakat.
Lebih lanjut, Khilafah adalah system pemerintahan keduniaan membumi yang menjamin perlindungan seluruh masyarakat berdasarkan hukum public Islam dan memberikan kebebasan kepada komunitas berbasis agama di bidang keagamaan. Bukan hanya dalam ritus keagamaan, namun juga dalam hal-hal yang menyangkut hukum keluarga, cara berpaaiandan sebagainya.
Fakta menunjukkan Khilafah merupakan konsep yang membumi karena konsep ini dipengaruhi oleh karakter dari misi keislaman itu sendiri. Misi Islam ini berlipat ganda dalam (1) menyebarkan system pemerintahan Islam atau Khilafah, yang merupakan kewajiban, dan (2) menyebarkan agama Islam, yang merupakan pilihan selanjutnya atau opsional. Ini karena misi keislaman dibangun dengan tegas, ketika kepatuhan terhadap hukum public Islam yang disertai dengan pembayaran pajak jizyah ditolak, bukan ketika merea menolak agama Islam itu sendiri.
Sebagaimana tertulis dalam al-Qur’an, Allah berfirman :

"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah[638] dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk." (QS At Taubah 9: 29).

Sebagai tambahan, Al-Mughirah menuturkan, bahwa dia pernah berkata kepada pasukan Persia dalam peperangan Nahawand, “Nabi kami Muhammad Saw memerintahkan kami untuk memerangimu sampai engkau beriman pada Allah atau membayar pajak (jizyah)”. Adalah sangat jelas bahwa misi dari agama Islam adalah untuk menegakkan system pemerintahan Islam, bukan memaksakan agama Islam ke seluruh dunia.
Akibat dari karakter yang ada dalam misi keislaman ini, tanggung jawab politik untuk memelihara ketertiban, keamanan dan perdamaian dalam system Khilafah tidak dibebankan kepada semua orang –sebagaimana yang diagas dalam kerangka berfikir keliru tentang perwakilan bangsa-bangsa dalam hal ini, sekedar contoh sebut saja system pemerintahan demokratis- melainkan berada di bawah pengelolaan umat Islam di bawah pimpinan puncaknya, Khalifah, menurut kemampuan mereka masing-masing.
Dengan kata lain, system Khilafah, tidak mewajibkan kalangan non muslim untuk memberikan komitmen politik kepada Islam –karena mereka tidak mengimaninya- dan mereka hanya diwajibkan mematuhi aturan hukum public Islam dengan membayar jizyah sebagai warga negara “pasif”. Berbeda dengan kaum Muslim, mereka diwajibkan untuk berpartisipasi dalam perpolitikan Khilafah sebagai warga negara “aktif” berdasarkan kemampuan mereka karena keimanan mereka kepada Islam.
Prof. Dr. Ko Nakata (yang juga Presiden Asosiasi Muslim Jepang) menyimpulkan pendefinisan Khilafah sebagai “system politik Islam yang tumbuh bersama dalam keragaman masyarakat berbasis agama –berikut dengan masing-masing otonominya di bidang keagamaan- yang direalisasika di bawah pengelolaan kaum muslim melalui kepemimpinan Khalifah yang bertanggung jawab untuk menjalankan hukum public Islam yang bertujuan untuk menjamin ketertiban, keamanan dan kedamaian dalam masyarakat majemuk yang beragam.


Khatimah

- Khilafah sebagai suatu system pemerintahan yang bersifat keduniaan yang harus berjalan berdasarkan hukum syara’; bahkan Khalifah yang bertanggungjawab memimpin pelaksanaan aturan hukum Islam.
- Akan tetapi meskipun sumber hukum Islam adalah wahyu, khilafah bukanlah system theokrasi ataupun imamah (imam ma’sum). Hukum yang diterapkan tidak mistis (misterius) tetapi suatu system hukum yang rasional, dimana dalam memahami hukum syara’ berdasarkan proses penalaran hukum (legal reasoning).
- Kekhawatiran terhadap terjadinya penyelewengan bisa dipahami, mengingat hal tersebut juga pernah terjadi pada sejarah kekhilafahan, sebagaimana terjadi pula pada system pemerintahan lainnya (monarki ataupun demokrasi) sampai saat ini. Akan tetapi ketika bicara masalah system pemerintahan, pada dasarnya kita sedang membahas tentang benar atau tidak benar dari suatu system menurut syara’. Khilafah adalah system pemerintahan yang telah dicontohkan oleh Nabi Saw. (Sunnah), dilanjutkan oleh khulafaurrasyidin (ijma’ sahabat), dan dijanjikan tegaknya kembali sebagaimana sabda Rasululullah Saw:
“. . . tsumma takuunu khilafatan ‘alaa minhaajin nubuwwah”
“. . . Selanjutnya akan dating suatau kekhilafahan yang berjalan di atas manhaj kenabian” (HR. Ahmad)

Tidak ada komentar: